Indonesia
telah mengalami perubahan besar di bidang politik, sosial, dan ekonomi dalam 15
tahun
terakhir, yang kemudian muncul sebagai sebuah kekuatan demokrasi yang hidup dan
stabil
dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Sejak pulih dari krisis ekonomi di tahun
1998,
yang menyebabkan jutaan penduduk jatuh miskin, Indonesia telah menjadi Negara berpenghasilan
menengah dengan penghasilan per kapita sekitar US$ 4.000.
TAPI TAHUKAH ANDA ? dibalik
itu semua, Angka stunting (pendek) di Indonesia masih TINGGI ? Hal
ini bisa kita lihat dari data tentang
jumlah anak yang mengalami stunting dan sebaran kasus stunting di Indonesia
pada Grafik dibawah.
Gambar 1. Data stunting di
Indonesia (Direktur
Bina Gizi Kementerian Kesehatan RI, 20113)
Dari data di atas dapat diketahui
bahwa stunting di Indonesia masih tinggi, SUNGGUH
IRONIS. Dibalik keberhasilan dalam
Pengentasan kemiskinan mencapai 237,6 juta penduduk Indonesia dan proporsi
penduduk yang hidup kurang dari US$1 per hari turun dari 20,6% di tahun 1990
menjadi 5,9% di tahun 2008. Namun demikian, separuh dari penduduk Indonesia
tidak punya lebih dari US$1,75 per hari untuk bisa hidup dan menjadi salah satu
penyebab stunting, yaitu kurangnya asupan gizi pada balita akibat kemiskinan.
Apakah stunting itu ?
Stunting
adalah
perawakan pendek yang timbul akibat malnutrisi yang lama. Stunting
adalah keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga melampaui
deficit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan (Manary & Solomons,
2009). Stunting dapat didiagnosis
melalui indeks antropometrik tinggi badan menurut umur yang mencerminkan
pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi
kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau
kesehatan. Stunting merupakan
pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetic sebagai akibat
dari pola makan yang buruk dan penyakit (ACC/SCN, 2000).
Stunting didefinisikan
sebagai indikator status gizi TB/U sama dengan atau kurang dari minus dua
standar deviasi (-2 SD) dibawah rata-rata standar atau
keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain
seusianya (MCN, 2009) (WHO, 2006).
Ini adalah indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang memberikan
gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan keadaan sosial
ekonomi.
Stunting Di Indonesia
Di
Indonesia sendiri stunting merupakan
masalah nasional yang masih dicari solusi efektifnya. Di Indonesia balita yang
mengalami stunting bisa dibilang cukup besar, karena melebihi 35%.H asil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan
bahwa prevalensi pendek (stunting) pada balita
secara nasional 36,6 persen. Bila dirinci
menurut kelompok umur adalah sebabagi berikut 31,1
persen pada kelompok (< 6 bulan),
34,2
persen (6-11 bulan), 40 persen (12-
23
bulan) dan 38,2 persen pada (24-59
bulan).1
Sementara hasil analisis lanjut data Riskesdas
2010 pada kelompok usia 2-3 tahun menemukan prevalensi sebesar 42,38
persen.2 Masih tingginya prevalensi stunting pada
balita merupakan refleksi dari permasalahan
masa lalu, atara lain terjadinya masalah gizi pada ibu selama kehamilan.
Indikasi tersebut terlihat dari tingginya
prevalensi anemia pada ibu hamil di
Indonesia (40%), angka kematian bayi (AKB) 51
per 1000 kelahiran hidup, angka kematian ibu (AKI) 307 per 100.000 kelahiran,
dan BBLR berkisar 2-27 persen.3 Hasil analisis lanjut data Riskesdas
2007 menunjukkan bahwa Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil
di Indonesia masih 21,01 persen.
Upaya
perbaikan sumber daya manusia (SDM) perlu
dilakukan sejak kehamilan karena kekurangan gizi selama kehamilan tidak
hanya berisiko terhadap terjadinya
keguguran,
kematian ibu saat melahirkan, bayi lahir mati,
kematian neonatal dan BBLR, namun dapat menghambat pertumbuhan
dan perkembangan bayi yang dilahirkan. Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) merupakan indicator yang
menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan yang dirumuskan
dari data kesehatan berbasiskomunitas,
dan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) termasuk salah satu dari 24
indikator dalam IPKM. Salah satu dari
indikator
tersebut adalah kemiskinan. Kemiskinan
merupakan salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang. Konsep kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran. Branca &
Ferrari
menyebutkan bahwa masalah stunting merupakan salah
satu indicator kemiskinan.4 Anak
usia 2-3 tahun yang menjadi sampel dalam
Riskesdas 2010 secara
Faktor
Yang Mempengaruhi Stunting Pada Balita
Beberapa faktor yang terkait dengan kejadian stunted antara lain
kekurangan energi dan protein, sering mengalami penyakit kronis, praktek
pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor kemiskinan. Prevalensi stunted
meningkat dengan bertambahnya usia, peningkatan terjadi dalam dua tahun pertama
kehidupan, proses pertumbuhan anak masa lalu mencerminkan standar gizi dan
kesehatan.
Menurut laporan UNICEF
(1998) beberapa fakta terkait stunted dan pengaruhnya antara lain sebagai
berikut :
- Anak-anak yang mengalami
stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami stunted
lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunted yang parah pada anak-anak
akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan
mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di
sekolah, dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak
dengan stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen
dari sekolah dibandingkan anak-anak denganstatus gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi
terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.
- Stunted akan sangat
mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan anak. Faktor dasar yang
menyebabkan stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
intelektual. Penyebab dari stunted adalah bayi berat lahir rendah, ASI
yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare
berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar
anak-anak dengan stunted mengkonsumsi makanan yang berada di bawah
ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin
dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota
dan komunitas pedesaan.
- Pengaruh gizi pada anak usia
dini yang mengalami stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
kognitif yang kurang. Anak stunted pada usia lima tahun cenderung
menetapsepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada
masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunted dan
mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas, sehingga
meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR. Stunted terutama berbahaya pada perempuan, karena
lebih cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih
besar meninggal saat melahirkan.
Penyebab stunting.
Menurut beberapa penelitian, kejadian stunted pada anak merupakan suatu proses kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunted pada anak dan peluang peningkatan stunted terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.
Faktor
gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidaklangsung yang
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu hamil
dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth
retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami
gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Anak-anak yang mengalami hambatan
dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit
infeksi yang berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolic serta mengurangi
nafsu makan, sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini
semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya
berpeluang terjadinya stunted (Allen and Gillespie, 2001).
Apakah Dampak dari stunting?
Stunting adalah masalahgizi utama yang akan berdampak
pada kehidupan social dan ekonomi dalam dan diantara masyarakat. Ada bukti
jelas bahwa individu yang stunting memiliki tingkat kematian yang lebh tinggi
dari berbagai penyebab dan terjadinya peningkatan penyakit. Stunting akan mempengaruhi kinerja
pekerjaan fisik dan fungsi mental serta intelektual akan terganggu (Mann &
Truswell, 2002). Hal ini juga didukung oleh Jackson & Calder (2004) yang
mengatakan bahwa stunting berhubungan dengan gangguan fungsi kekebalan
dan akan meningkatkan risiko kematian.
Ok, kita sudah bicara tentang
stunting, penyebab, dan dampak nya, sekarang mari kita baca bersama tentang PENCEGAHAN
DAN PENANGANAN balita STUNTING.
Intervensi
untuk menurunkan anak pendek harus dimulai secara tepat sebelum kelahiran,
dengan pelayanan pranatal dan gizi ibu, dan berlanjut hingga usia dua tahun. Proses untuk
menjadi seorang anak bertubuh pendek – yang disebut kegagalan pertumbuhan
(growth faltering) - dimulai dalam dalam rahim, hingga usia dua tahun. Pada
saat anak melewati usia dua tahun, sudah terlambat untuk memperbaiki kerusakan
pada tahun-tahun awal. Oleh karena itu, status kesehatan dan gizi ibu merupakan
penentu penting tubuh pendek pada anak-anak.
Untuk mengatasi masalah gizi, khususnya anak pendek,
diperlukan aksi lintas sektoral. Asupan makanan yang tidak memadai dan
penyakit - yang merupakan penyebab langsung masalah gizi ibu dan anak - adalah
karena praktek pemberian makan bayi dan anak yang tidak tepat dan, penyakit dan
infeksi yang berulang terjadi, perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk.
Pada gilirannya, semua ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya
pendidikan dan pengetahuan pengasuh anak, penggunaan air yang tidak bersih,
lingkungan yang tidak sehat, keterbatasan akses ke pangan dan pendapatan yang
rendah.
Dimulai dari Pemenuhan kebutuhan Gizi
Ibu dan Anak.
Faktor zat
gizi merupakan salah satu factor utama penyebab stunting. Balita harus dipenuhi kebutuhan gizi nya sejak dalam
kandungan hingga lahir dan masa pertumbuhan. Menurut UNICEF factor penyebab
utama stunting adalah kurangnya zat
gizi pada anak sejak masa pregnancy dan
masa laktasi (UNICEF, 2010). Zat gizi tersebut terdiri atas zat gizi makro
khususnya protein dan zat gizi mikro terutama asam folat, dan zat besi.protein
akan membentu memperbaiki jaringan sel yang rusak, asam folat akan membantu
perkembangan otak anak, dan zat besi akan membantu pertumbuhan tulang anak. Sehingga
pemenuhan gizi pada anak sejak dalam masa kandungan akan membantu mengurangi
kemunginan terjadinya stunting. Selain itu, ASI dalam hal ini juga berperan
penting sebagai asupan nutrisi pertam pada bayi yang baru lahir, ibutuhkan
bayi. karena ASI mengandung banyak sekali zat yang dPerbaikan pola pangan dan
gizi juga perlu dilakukan untuk membantu balita penderita stunting agar bisa tumbuh dengan normal.
Bagaimana
dengan Pemerintah ?
Selama
ini pemerintah sudah berusaha mengurangi Gizi buruk, terutama pertumbuhan yang
terhambat, merupakan sebuah masalah kesehatan masyarakat yang utama di
Indonesia. Untuk mengatasi tantangan itu, UNICEF mendukung sejumlah inisiatif
di tahun 2012 untuk menciptakan lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi.
Ini meliputi peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional (Scaling Up Nutrition –
SUN) dan mendukung pengembangan regulasi tentang pemberian ASI eksklusif,
rencana nasional untuk mengendalikan gangguan kekurangan
iodine, panduan
tentang pencegahan dan pengendalian parasit intestinal dan panduan tentang
suplementasi multi-nutrient perempuan dan anak di Klaten, Jawa Tengah. Manajemen
masyarakat tentang gizi buruk akut dan pemberian makan bayi dan anak menjelma
menjadi sebuah paket holistic untuk menangani gizi buruk, sementara pengendalian
gizi anak dan malaria ditangani bersama untuk mencegah pertumbuhan yang
terhambat (stunting) (Laporan Tahuna Unicef Indonesia, 2012).
Untuk membantu
pemerintah dalam melakukan perbaikan gizi pada balita Stunting, menurut Unicef
Indonesia perhatian khusus harus diberikan pada :
1.
Penciptaan dan penguatan mekanisme koordinasi
nasional dan daerah untuk
mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi, dan untuk melakukan
koordinasi dengan sektor-sektor non-gizi.
2.
Pengembangan, pemantauan dan penegakan peraturan
nasional untuk
mengawasi pemasaran produk pengganti ASI.
3.
Revisi standar minimal pelayanan kesehatan untuk
mencakup aksi-aksi dan sasaran gizi, seperti aksi-aksi yang berhubungan
dengan konseling gizi, makanan pendamping ASI dan gizi ibu.
4.
Penguatan sistem informasi kesehatan untuk
meningkatkan keandalan data, promosi pengawasan suportif terhadap program
kesehatan dan gizi, dan promosi penggunaan data oleh petugas kesehatan secara
terus-menerus untuk meningkatkan dampak program.
5.
Penguatan program fortifikasi pangan nasional dengan
memperbarui standar fortifikasi untuk terigu, pengharusan fortifikasi
minyak, dan peningkatan penegakan legislasi yang ada; tentang iodisasi garam;
6.
Implementasi langkah-langkah untuk merekrut,
mengembangkan dan mempertahankan ahli gizi
y yang memenuhi syarat, termasuk
insentif bagi mereka yang bekerja di daerah-daerah yang kurang terlayani.
Daftar
Pustaka
ACC/SCN.
2000. Fourth report on the world nutrition situation:
nutrition throughout the life cycle. Geneva, ACC/SCN in collaboration with
IFPRI.
Allen and Gillespie. 2001. High socioeconomic class preschool children from
Jakarta, Indonesia are taller and heavier than NCHS reference population. Eur J Clin
Nutr 1995; 49: 740-4.
Branca
& Ferrari . 2001. Impact
of micronutrient deficiencies on growth: The stunting syndrome. Ann Nutr Metab 2001; 46 (suppl
1): 8-17.
Direktur
Bina Gizi Kementerian Kesehatan RI. 2013. perkembangan
masalah gizi dan penguatan pelayanan gizi dalam pencegahan stunting di Indonesia.
Jakarta. 18 oktober 2013.
Jackson & Calder. 2004. Growth faltering is prevented by breast-feeding in underprivileged
infants from Mexico city. J Nutr 2004; 130: 546-
Laporan
Tahuna Unicef Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian
Kesehatan Unicef Indonesia. Oktober 2012.
Laporan
Tahunan Indonesia. 2013. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013.
Manary
& Solomons. 2009. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Terjemahan Public Health Nutrition, editor. Gibney, MJ,
Margetts. Oxford
Mann & Truswell. 2002. Postnatal growth
of intrauterine growth retarded infant. Pediatrics 2002; 6: 265-71.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) Depkes RI. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI, 2008
UNICEF . 2010. Challenges for a
new generation, the situation of children and woman in Indonesia, Geneva.
WHO. 2006. Physical status: the use and
interpretation of anthropometry.
0 komentar:
Posting Komentar